KRISIS MONETER
INDONESIA
Krisis
moneter adalah krisis yg berhubungan dengan uang atau keuangan suatu
Negara, hal ini ditandai dengan Keadaan keuangan yang tidak menentu
sebagai akibat lembaga keuangan dan nilai tukar mata uang tidak berfungsi dan
tidak berjalan sesuai dengan harapan. Krisis moneter
yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung
hampir dua tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya
kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya
jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan
karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti
kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan
terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran
di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan
Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
Krisis
moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu
dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud
dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca
pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan
cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih
cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
Lihat Tabel. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti
peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor
yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang
bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian
sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan
yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian besar
tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis
kepercayaan.Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian
nasional.Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang
tidak mampu dbendung oleh tembok penahan yang ada, yang selama bertahun-tahun
telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang mengancam.
INDIKATOR
UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997
1990
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
Pertumbuhan
ekonomi (%) 7,24 6,95 6,46 6,50 7,54 8,22 7,98 4,65
Tingkat
inflasi (%) 9,93 9,93 5,04 10,18 9,66 8,96 6,63 11,60
Neraca
pembayaran (US$ juta) 2,099 1,207 1,743 741 806 1,516 4,451 -10,021
Neraca
perdagangan 5,352 4,801 7,022 8,231 7,901 6,533 5,948 12,964
Neraca
berjalan -3.24 -4,392 -3,122 -2,298 -2.96 -6.76 -7,801 -2,103
Neraca
modal 4,746 5,829 18,111 17,972 4,008 10,589 10,989 -4,845
Pemerintah
(neto) 633 1,419 12,752 12,753 307 336 -522 4,102
Swasta
(neto) 3,021 2,928 3,582 3,216 1,593 5,907 5,317 -10.78
PMA
(neto) 1,092 1,482 1,777 2,003 2,108 4,346 6,194 1,833
Cadangan
devisa akhir tahun (US$ juta)
8,661 9,868 11,611 12,352 13,158 14,674 19,125 17,427
(bulan
impor nonmigas c&f) 4,7 4,8 5,4 5,4 5,0 4,3 5,2 4,5
Debt-service
ratio (%) 30,9 32,0 31,6 33,8 30,0 33,7 33,0
Nilai
tukar Des. (Rp/US$) 1,901 1,992 2,062 2.11 2.2 2,308 2,383 4.65
APBN*
(Rp. milyar) 3,203 433 -551 -1.852 1,495 2,807 818 456
*
Tahun anggaran
Sebagai
konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus
1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya
dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating)
menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi
Oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di
pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar
ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot
dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi
Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi
sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999.
Krisis Moneter dan
Faktor-Faktor Penyebabnya:
Penyebab
dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah,
hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena
utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol
bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya
nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai
nyatanya1 .Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar
rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara
bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta
luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS
ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi
Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi
pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran
terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan
devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini
diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang
datangnya saling bersusulan.Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting,
karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar
Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri,
ditambah dengan lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya
krisis finansial.Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersamasama
membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan Yang pertama adalah akumulasi utang
swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k.
95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan
jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir
utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun.Sebab yang kedua adalah
kelemahan pada sistim perbankan.Ketiga adalah masalah governance, termasuk
kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma
menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan
finansial dengan cepat.Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi
Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu
itu.
Sementara
menurut penilaian penulis, penyebab utama dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang
sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satunya, tetapi ada banyak faktor
lainnya yang berbeda menurut sisi pandang masing-masing pengamat.
Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai
faktor tersebut menurut urutan kejadiannya:
Dianutnya
sistim devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai,
memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas
berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut
rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel, sehingga membuka peluang
yang sebesarbesarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas
membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri.Valas bebas
diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di
pusat-pusat keuangan di luar negeri.
Tingkat
depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2,4% (1993) hingga 5,8%
(1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di bawah nilai tukar
nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat overvalued. Ditambah
dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif
lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan produk dalam
negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk impor. Nilai Rupiah
yang overvalued berarti juga proteksi industri yang negatif. Akibatnya harga
barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam negeri relatif mahal,
sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik.Akibatnya
produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan
impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap
serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang
nyata.
Akar
dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan
menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak
tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya,
ditambah sistim perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar
negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar,
bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir
malah sedikit berkurang (oustanding official debt). Ada tiga pihak yang
bersalah di sini, pemerintah, kreditur dan debitur.
Kesalahan
pemerintah adalah, karena telah memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi
dengan membuat nilai rupiah terus-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang
tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah menjadi relatif mahal dan pinjaman dalam
mata uang asing menjadi relatif murah. Sebaliknya, tingkat bunga di dalam
negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar
masyarakat mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Jadi di sini pemerintah
dihadapi dengan buah simalakama.Keadaan ini menguntungkan pengusaha selama
tidak terjadi devaluasi dan ini terjadi selama bertahun-tahun sehingga memberi
rasa aman dan orang terus meminjam dari luar negeri dalam jumlah yang semakin
besar. Dengan demikian pengusaha hanya bereaksi atas signal yang diberikan oleh
pemerintah. Selain itu pemerintah sama sekali tidak melakukan pengawasan
terhadap utang-utang swasta luar negeri ini, kecuali yang berkaitan dengan
proyek pemerintah dengan dibentuknya tim PKLN.
Bagi debitur dalam negeri, terjadinya utang
swasta luar negeri dalam jumlah besar ini, di samping lebih menguntungkan, juga
disebabkan suatu gejala yang dalam teori ekonomi dikenal sebagai fallacy of
thinking2 , di mana pengusaha beramai-ramai melakukan investasi di bidang yang
sama meskipun bidangnya sudah jenuh, karena masing-masing pengusaha hanya
melihat dirinya sendiri saja dan tidak memperhitungkan gerakan pengusaha lainnya.
Pihak kreditur luar negeri juga ikut bersalah, karena kurang hati-hati dalam
memberi pinjaman dan salah mengantisipasi keadaan.Jadi sudah sewajarnya, jika
kreditur luar negeri juga ikut menanggung sebagian dari kerugian yang diderita
oleh debitur.
Kalau
masalahnya hanya menyangkut utang luar negeri pemerintah saja, meskipun
masalahnya juga cukup berat karena selama bertahun-tahun telah terjadi net
capital outflow3 yang kian lama kian membesar berupa pembayaran cicilan utang
pokok dan bunga, namun masih bisa diatasi dengan pinjaman baru dan pemasukan
modal luar negeri dari sumber-sumber lain. Beda dengan pinjaman swasta,
pinjaman luar negeri pemerintah sifatnya jangka panjang, ada tenggang waktu
pembayaran, tingkat bunganya relatif rendah, dan tiap tahunnya ada pemasukan
pinjaman baru.
Pada
awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan
diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang
pemerintah US$ 53,5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini
tidak di hedge.Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati
selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri, misalnya
bank-bank.Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi
tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah (bandingkan
IDE).Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang
membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran
kembalinya.
Pinjaman
luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistim perbankan, banyak yang
dikelola secara tidak prudent, yakni disalurkan ke kegiatan grupnya sendiri dan
untuk proyek-proyek pembangunan realestat dan kondomium secara berlebihan
sehingga jauh melampaui daya beli masyarakat, kemudian macet dan uangnya tidak
kembali. Pinjaman-pinjaman luar negeri dalam jumlah relatif besar yang
dilakukan oleh sistim perbankan sebagian disalurkan ke sektor investasi yang
tidak menghasilkan devisa (non-traded goods) di bidang tanah seperti
pembangunan hotel, resort pariwisata, taman hiburan, taman industri, shopping
malls dan realestat. Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan
barang-barang ekspor dan mengandalkan pasar dalam negeri, maka sedikit sekali
pemasukan devisa yang bisa diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri.
Krugman melihat bahwa para financial intermediaries juga berperan di Thailand
dan Korea Selatan dengan moral nekat mereka, yang menjadi penyebab utama dari
krisis di Asia Timur.Mereka meminjamkan pada proyek-proyek berisiko tinggi sehingga
terjadi investasi berlebihan di sektor tanah (Krugman, 1998; Greenwood). Mereka
mulai mencari dollar AS untuk membayar utang jangka pendek dan membeli dollar
AS untuk di hedge .
Permainan
yang dilakukan oleh spekulan asing yang
dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas
cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin
trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah
besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas
dari sektor riil.Para spekulan ini juga meminjam dari sistim perbankan untuk
memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa Bank Indonesia memutuskan
untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun
pada awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan
sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru
sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli rupiah dalam jumlah cukup
besar ketika kurs masih di bawah Rp. 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini
adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka
akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS.
Namun
pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret
sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian
menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Krisis moneter yang terjadi
sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu
sama lainnya.
Kebijakan
fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistim nilai tukar dengan pita
batas intervensi. Kebijakan
fiskal
merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu
negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan
fiskal berbeda dengan kebijakan moneter,
yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga
dan jumlah uang
yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.
Sistim
ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan
spekulasi ketika sistim batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus
1997.Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang
bagaimana mengatasi krisis dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat
ini.Ketidak mampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan
dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan
cepat.
Defisit
neraca berjalan yang semakin membesar, yang disebabkan karena laju peningkatan
impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga
pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat overvalued, yang
membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan
produk dalam negeri.
Penanam
modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran
dimingimingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter
yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.
Selisih tingkat suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang besar dan
kemungkinan memperoleh keuntungan yang relatif besar dengan cara bermain di
bursa efek, ditopang oleh tingkat devaluasi yang relatif stabil sekitar 4% per
tahun sejak 1986 menyebabkan banyak modal luar negeri yang mengalir masuk.
Setelah nilai tukar Rupiah tambah melemah dan terjadi krisis kepercayaan, dana
modal asing terus mengalir ke luar negeri meskipun dicoba ditahan dengan
tingkat bunga yang tinggi atas surat-surat berharga Indonesia. Kesalahan juga
terletak pada investor luar negeri yang kurang waspada dan meremehkan resiko.Krisis
ini adalah krisis kepercayaan terhadap rupiah.
IMF
tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda pengucuran dana bantuan yang
dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan
dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia
juga menunda mengucurkan bantuannya menunggu signal dari IMF, padahal keadaan
perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Singapura yang
menjanjikan l.k. US$ 5 milyar meminta pembayaran bunga yang lebih tinggi dari
pinjaman IMF, sementara Brunei Darussalam yang menjanjikan l.k. US$ 1 milyar
baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain
yang berjanji akan membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai.
IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di
Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis.
Spekulan
domestik ikut bermain. Para spekulan inipun tidak semata-mata menggunakan
dananya sendiri, tetapi juga meminjam dana dari sistim perbankan untuk bermain.
Terjadi
krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu
membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik
keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah.Terjadilah snowball effect, di
mana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar.Orang-orang kaya
Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu
bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi
ketidak stabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga awal Mei
1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidak
stabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu. Kerusahan
besar-besaran pada pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina
telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat ini akan keamanan harta, jiwa dan
martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan
ekonomi di Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan
untuk sementara tidak melaukan investasi baru.
Terdapatnya
keterkaitan yang erat dengan yen Jepang, yang nilainya melemah terhadap dollar
AS (lihat IDE). Setelah Plaza-Accord tahun 1985, kurs dollar AS dan juga mata
uang negara-negara Asia Timur melemah terhadap yen Jepang, karena mata uang
negaranegara Asia ini dipatok dengan dollar AS. Daya saing negara-negara Asia
Timur meningkat terhadap Jepang, sehingga banyak perusahaan Jepang melakukan
relokasi dan investasi dalam jumlah besar di negara-negara ini. Tahun 1995 kurs
dollar AS berbalik menguat terhadap yen Jepang, sementara nilai utang dari
negara-negara ini dalam dollar AS meningkat karena meminjam dalam yen, sehingga
menimbulkan krisis keuangan.
Di
lain pihak harus diakui bahwa sektor riil sudah lama menunggu pembenahan yang
mendasar, namun kelemahan ini meskipun telah terakumulasi selama bertahun-tahun
masih bisa ditampung oleh masyarakat dan tidak cukup kuat untuk
menjungkir-balikkan perekonomian Indonesia seperti sekarang ini. Memang terjadi
dislokasi sumber-sumber ekonomi dan kegiatan mengejar rente ekonomi oleh
perorangan/kelompok tertentu yang menguntungkan mereka ini dan merugikan rakyat
banyak dan perusahaan-perusahaan yang efisien. Subsidi pangan oleh BULOG,
monopoli di berbagai bidang, penyaluran dana yang besar untuk proyek IPTN dan
mobil nasional. Timbulnya krisis berkaitan dengan jatuhnya nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS secara tajam, yakni sektor ekonomi luar negeri, dan kurang
dipengaruhi oleh sektor riil dalam negeri, meskipun kelemahan sektor riil dalam
negeri mempunyai pengaruh terhadap melemahnya nilai tukar rupiah.Membenahi
sektor riil saja, tidak memecahkan permasalahan.
Krisis
pecah karena terdapat ketidak seimbangan antara kebutuhan akan valas dalam
jangka pendek dengan jumlah devisa yang tersedia, yang menyebabkan nilai dollar
AS melambung dan tidak terbendung. Sebab itu tindakan yang harus segera
didahulukan untuk mengatasi krisis ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang
swasta luar negeri, membenahi kinerja perbankan nasional, mengembalikan
kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap kemampuan ekonomi
Indonesia, menstabilkan nilai tukar rupiah pada tingkat yang nyata, dan tidak
kalah penting adalah mengembalikan stabilitas sosial dan politik.
Program Reformasi Ekonomi
IMF
Menurut
IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena
pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi.
Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan
pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik.Inti dari
setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial.
Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya
dengan IMF, Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies
(MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review
yang keempat, tanggal 16 Maret 1999.
Program
bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program
reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
1.Penyehatan
sektor keuangan.
2.Kebijakan
fiscal.
3.Kebijakan
moneter.
4.Penyesuaian
struktural.
Untuk
menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$ 11,3
milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar
dicairkan segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila
program penyehatannya telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan
dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari
jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF
sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. Di samping dana bantuan IMF,
Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negaranegara sahabat juga menjanjikan
pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37 milyar
(menurut Hartcher dan Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan
kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-program yang
diprasyaratkan IMF.
Karena
dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia
dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi
kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of
intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50
butir. Saransaran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat
dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17
persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokokpokok dari program IMF adalah sebagai
berikut:
A.
Kebijakan makro-ekonomi
·
Kebijakan fiskal
·
Kebijakan moneter dan nilai tukar
B.
Restrukturisasi sektor keuangan
·
Program restrukturisasi bank
·
Memperkuat aspek hukum dan pengawasan
untuk perbankan
C.
Reformasi struktural
·
Perdagangan luar negeri dan investasi.
·
Deregulasi dan swastanisasi.
·
Social safety net.
·
Lingkungan hidup.
Setelah
pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka
diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada
tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks.
Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek
baru yang masuk adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta
Indonesia.Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum dalam matriks
komitmen kebijakan struktural. Strategi yang akan dilaksanakan adalah:
Ø menstabilkan
rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia.
Ø memperkuat
dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan.
Ø memperkuat
implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan
berdaya saing.
Ø menyusun
kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta.
Ø kembalikan
pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit
kembali.
Ke
tujuh appendix adalah masing-masing:
Ø Kebijakan
moneter dan suku bunga.
Ø Pembangunan
sektor perbankan.
Ø Bantuan
anggaran pemerintah untuk golongan lemah.
Ø Reformasi
BUMN dan swastanisasi.
Ø Reformasi
structural.
Ø Restrukturisasi
utang swasta.
Ø Hukum
Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas
utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan. Pemerintah
akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecilmenengah dan
koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20 dari
Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta
dan jumlah yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan
awal bulan Juli, bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF.
Sementara itu Menko Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan
sebagainya memang tidak kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung
neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan
terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan
memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri. Pencairan berikutnya sebesar US$ 1
milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan
September ini.
Kritik Terhadap IMF
Banyak
kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani
krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa: (1) program IMF terlalu
seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan
(2) program IMF terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu.
Radelet dan Sachs secara gamblang menyatakan bahwa bantuan IMF kepada tiga
negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal.Setelah melihat program
penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF
sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak
bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan
standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja negara,
padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun
anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh
bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk
menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus
dipegang.Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk
menutup anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi
yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999
terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena
kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar
rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh nilai tukar rupiah,
semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja.Karena itu pemecahan
utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang
wajar.
J.
Stiglitz, pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang
teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan
berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek
apa yang dinamakan “konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya
harus mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya
memperluas kesempatan ekonomi AS. Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan
bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS
yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan
menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain
Anwar
Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih
samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan
penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai
sasaran surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana
ingin dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya
adalah peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah
tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya
produksi untuk mendorong ekspor non-migas.
Penasehat
khusus IMF untuk Indonesia sendiri juga dikutip sebagai mengatakan bahwa “IMF
kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan.Di satu pihak,
perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan visi
politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada
fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini,
menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya
pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank Dunia.
Sri
Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak
memperlihatkan adanya konsistensi antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak
IMF memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan
menyediakan dana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain
pihak menganut kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini
bisa memandulkan efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas
nilai tukar dan inflasi. “Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan
ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena
keharusan BI melakukan fungsi lender of last resort bagi perbankan nasional,
yang bertentangan dengan tema pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan
moneter dan fiskal”.
Saran
IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim perbankan
Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang
amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari
tindakan ini tidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada
otoritas moneter, Bank Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan
dan masyarakat beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke
bank-bank asing dan pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis
likuiditas perbankan nasional yang gawat.Hal ini juga diakui oleh IMF.
Pertanyaan
mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF
bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang
melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat
ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya
yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah
mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada
tahun 1996 dapat bangkit kembali.Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara
bertahap dalam jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan
Indonesia untuk menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan
ekonomi Indonesia terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan
menahan pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1
milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket
bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara
cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan.
Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan
bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang
besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain
pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda
mencairkan bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan
menggulirkan tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang
pada akhirnya bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto.
Saran
IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang
ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan
ekonomi, dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas
dengan petunjuk IMF.Sayangnya tidak ada program khusus yang secara langsung
ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix
untuk masalah ini.IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang paling
mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan
memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan mencairkan
dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang didukung oleh
bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negara sahabat.
Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat dicegah.
IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputarputar
pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan
sektor riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan
khusus dari negaranegara maju yaitu membuka peluang investasi yang
seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan
Indonesia.
Di
lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan
kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda
kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas
dan berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang
wajar dan menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara
memilih program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan
kepastian dan kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis
ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan tidak
bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF
adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap
masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi
struktural yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini
dikumpulkan sekaligus secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan
kembali kepercayaan masyarakat dalam negeri dan internasional. Namun bantuan
dana IMF dan ketergantungan harapan pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan
pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi struktural secara
besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam diombang-ambing ombak
laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tapi disuruh belajar
berenang dahulu.
Reformasi
struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar dan penting,
tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara
pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak
perusahaan yang jatuh bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan
pasaran dalam negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena
perusahaan-perusahaan ini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan
harga jualnya menjadi tidak terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar
rupiah.Jadi, utang luar negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot jauh
dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak
disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian kebijakan
reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat
inti permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan
dalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi
duri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan
asing?Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada
titipan-titipan politik dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program
reformasi IMF secara mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan
deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia
dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia .
Permintaan
IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan
kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalam jangka
pendek proyek ini akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal,
anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi
BBM dan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga
tahun sudah benar.Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni
melalui subsidi silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap
dikenakan tarif listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya
penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh
pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu
mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun
kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan
sosial.
Tindakan
drastis ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan
sosial dan politik.Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah
tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu
keresahan masyarakat reda?Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan
dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan
tidak secara mendadak.
Dalam
suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa diberikan
kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk
berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik.Dalam situasi
sekarang hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1
Oktober 1998 direncanakan subsidiakan diturunkan secara berarti. Subsidi untuk
bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran
pemerintah.Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak
dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah.
Jadi
tindakan yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat
yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi.Tidak bisa biaya
produksi dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif
tinggi lalu dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah
dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau
tidak menurun dan banyaknya PHK.Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat
sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain, bila
pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat
sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal
di Indonesia misalnya…
Dalam
kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya
krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi
dan siapa yang menarik keuntungan dari krisis ini?Janganlah rakyat banyak
diminta untuk berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas
penderitaan rakyat dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik.
Di
antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal asing
dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi
peluang yang cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya
kepemilikan hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan
saham dari perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank
nasional yang go public. Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya
larangan membuka cabang bagi bank asing, izin investasi di bidang perdagangan
besar dan eceran, dan liberalisasai perdagangan yang jauh lebih liberal dari
komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTA dan APEC.
Masalahnya
bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap
restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan
apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau
sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah
menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal
kecil? Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF
menerima titipan pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan
kepentingannya dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Saran
IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan
program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun
Undang- Undang Lingkungan Hidup yang baru.
Ikut
campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena IMF
sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan
kreditor luar negeri, yang akan memperlancar dan mempercepat proses
penyelesaian utang. IMF bisa bertindak sebagai perantara yang netral dan
dipercaya.
"KEAJAIBAN
yang hilang".Itulah istilah yang paling pantas diberikan bagi perekonomian
Indonesia sepanjang tahun 1998.Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh
pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami
kontraksi begitu hebat. Laporan akhir tahun ekonomi akan mengungkap semua
persoalan itu dan mencoba menggambarkan keadaan untuk tahun mendatang. Laporan
akan dituangkan dua hari berturut-turut, Senin (21/12) dan Selasa, di Rubrik
UTAMA dan Rubrik OPINI. Semua dituliskan oleh wartawan ekonomi Kompas, Andi
Suruji, Banu Astono, Dedi Muhtadi, Ferry Irwanto, Ninuk M Pambudy, Pieter P
Gero, Simon Saragih, Sri Hartati Samhadi, Subur Tjahjono, Tjahja Gunawan, Yosef
Umar Hadi, dan Yovita Arika.
TAHUN
1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa.Keadaannya berlangsung
sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah
perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita
selalu mengingat black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal
29 Oktober 1929 yang juga disebut sebagai malaise.
Hanya
dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi.Prestasi ekonomi yang dicapai
dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua
bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Selama
periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling
hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama
tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai
dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.
Dana
Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun
terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah.Bahkan
situasi seperti lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya.Krisis
ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Seperti
efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht
di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi
krisis ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Akhirnya,
dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh
sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak
goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya
dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi
baht, yang menjadi pemicu semua itu.
Efek bola salju
Faktor
yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan
masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun
1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam
pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo,
situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam
La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Dari
total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS,
sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka
pendek, di mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998.
Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya
kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar
AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS
pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang
tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah
yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar
utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan
6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Krisis
yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat
merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar
uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan
peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah
terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan,
bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat,
bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal
juga insolvent atau nota bene bangkrut.Sektor yang paling terpukul terutama
adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan
gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level
yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau
20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat
PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk.
Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar
biasa, khawatir harga akan terus melonjak.Pendapatan per kapita yang mencapai
1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut
menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia
disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada
tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data
Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat
pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal
terakhir 1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada
kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998.
Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka
inflasi Februari mencapai 12,67 persen di pasar modal, Indeks Hsssarga Saham
Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin,
pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara
kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun
pada awal Juli 1998.
Di
pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi
70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli
1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis),
menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative
spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di
sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah
krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum
depresiasi rupiah, akibat beban utang,ketergantungan besar pada komponen impor,
kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global Selama periode
Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode
sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Anomali
Krisis
multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah
dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum
dan sistem peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada
rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaanKrisis. kepercayaan ini
menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak mampu bekerja
untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor
fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan
akibat surutnya penerimaan.
Situasi
yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan
orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat
menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board
System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali
tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat
memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.
Ditinggalkannya
rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan
IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent ketiga
ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan
berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan
memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas.
Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di
tengah harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah
menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai
wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi
berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20
milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya
jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan
ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.
Munculnya
pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan
manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan.Pemburukan
kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus
berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998.Begitulah, kita
telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.
Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis dan agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial
LAPORAN
AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Era Bank-bank Bangkrut
INDUSTRI
perbankan selama tahun 1998 begitu hiruk-pikuk.Antrean panjang nasabah
menyambut industri perbankan awal tahun 1998.Mereka benar-benar telah
menempatkan kepercayaan pada bank di bawah telapak kaki.Tindakan likuidasi
tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua prahara
perbankan itu.
Untung
ada jaminan atas simpanan nasabah, yang dikeluarkan pemerintah awal tahun 1998
juga.Kesulitan perbankan di satu sisi bisa tertolong karena tidak lagi harus
dicecer nasabah panik.Namun demikian, jaminan itu tak kunjung bisa mengakhiri
krisis perbankan yang sudah berkembang menjadi kronis.
Selain
warisan dari penyakit masa lalu, ada beberapa karakter yang membantai industri
perbankan selama tahun 1998.Pertama adalah warisan dari kepanikan nasabah yang
mengakibatkan sumber pendanaan kosong melompong. Bank Indonesia memang
menyuntikkan likuiditas berupa BLBI. Akan tetapi pengenaan suku bunga BLBI,
telah pula menjadikan pemilik menghadapi beban yang terus bertambah.
Ada
lagi faktor lain yang mewarnai, yakni suku bunga kredit yang lebih tinggi
ketimbang suku bunga simpanan nasabah. Akibatnya terjadi negative spread. Beban
bankir semakin bertambah saja.Bisa dikatakan, bank-bank kita sudah tinggal
gedung-gedung saja tanpa isi.
Resesi
ekonomi telah mencampakkan semua kredit yang disalurkan menjadi
sampah.Idealnya, pemilik bank sendiri harus menyuntikkan modal untuk memberi
roh pada perbankan.Akan tetapi itu tidak dapat dilakukan.Pemilik bank juga
bangkrut, karena kredit yang disalurkan ke kelompok sendiri, terjerat kredit
macet.
Tambahan
pula, sebagian kredit itu telah menguap dan sebagian besar menjadi simpanan
pemilik bank yang ada di sistem perbankan internasional. Kekhawatiran akan
bisnis yang tidak nyaman di Indonesia, telah membuat mereka lari tunggang
langgang Akibatnya, BI harus menanggung semua beban yang ada di perbankan.
Secara de facto, pemilik saham mayoritas perbankan nasional adalah pemerintah
melalui Bank Indonesia.Bahkan sebagian besar saham-saham bank swasta telah
dicengkeram oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Akan
tetapi pengambilalihan Bank Indonesia atas saham-saham perbankan nasional, juga
tak menyelesaikan masalah.Idealnya, sebagaimana di berbagai negara, pemerintah
menjadi penolong mayoritas kesulitan perbankan.
Namun
pemerintah pun kini bagai tunggang langgang, tiba-tiba dihadapkan pada beban
dashyat akibat borok-borok industri perbankan.Borok-borok itu, sangat jelas
terlihat pada peringkat perbankan yang mayoritas berkategori B (modal sudah
menjadi negatif 25 persen terhadap aset) dan C (modal sudah negatif di bawah 25
persen) terhadap aset.
Pemerintah
memang merencanakan rekapitalisasi dengan penerbitan obligasi. Diperkirakan
akan ada Rp 257 trilyun untuk menyuntikkan modal perbankan. Akan tetapi angka
itu dianggap terlalu moderat, jauh dari memadai.Kredit bermasalah bank sendiri
pun mencapai kurang lebih Rp 300 trilyun.Meski demikian, angka Rp 257 trilyun itu
juga bukan hal mudah untuk dipenuhi.
SEBELUM
rencana rekapitalisasi, ada sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
untuk menyehatkan perbankan.Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan pun-untuk
menyehatkan perbankan-seperti anak-anak bermain tali.Tarik ulur hampir selalu
mewarnai kebijakan pemerintah atas perbankan.
Kebijakan
di bidang keuangan dan perbankan seringkali direvisi. Ambil contoh, pola
pengembalian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang berubah-ubah.
Sebelumnya pemerintah menentukan batas waktu pengembalian BLBI selama lima
tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.
Sampai
akhirnya setelah melalui bebagai perdebatan, pemerintah menetapkan batas waktu
empat tahun bagi pemilik lama saham mayoritas bank beku operasi (BBO) dan bank
take over (BTO) untuk menyelesaikan kewajibannya. Bagaimana pun, kebijakan
pemerintah yang plintat-plintut bisa membingungkan pelaku pasar dan mengurangi
kepercayaan masyarakat pada dunia perbankan.
Maka
itu, jangan heran jika masyarakat terus bingung.Sebenarnya kebingungan dan
kepanikan dalam masyarakat secara tidak langsung diciptakan sendiri oleh
pemerintah melalui kebijakan yang tidak utuh. Setelah kebijakan pengembalian
BLBI sudah agak terang dan jelas, sekarang muncul program rekapitalisasi
(penambahan modal) perbankan yang merupakan bagian dari kebijakan restrukturisasi
perbankan nasional.
Kebijakan
yang hendak dilaksanakan itu pun, belum memperjelas arah kebijakan pemerintah
yang hendak ditempuh dalam dunia perbankan.Dengan rekapitalisasi perbankan
pemerintah berobsesi menciptakan perbankan yang sehat dan kuat serta mampu
bertarung di pasar global.
DI
tengah kebingungan itu, kita bertanya.Bagaimana menyehatkan perbankan. Hingga
kini semua itu masih menjadi tanya besar? Maka itu, tahun 1999, industri
perbankan belum bisa diharapkan beroperasi seperti sediakala.Mereka belum cukup
mampu mengucurkan kredit.
Kalaupun
ada yang bisa beroperasi normal, itu hanyalah bank-bank asing atau campuran,
atau bank-bank swasta yang selama ini cukup berhati-hati menyalurkan
dananya.Akan tetapi jumlah bank yang bisa bertindak seperti hanya dalam
bilangan jari tangan.
Lalu
bagaimana prospektif perbankan nasional?Hingga saat ini tak ada yang bisa
memberikan jawaban tuntas.Berbagai kalangan, domestik maupun dunia
internasional di berbagai seminar, juga sangat kebingungan melihat endemik penyakit
perbankan. Tahun 1999, akan masih terus dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan
bagaimana menyelesaikan perbankan.
Namun
yang jelas, likuidasi adalah suatu yang tak terhindarkan.Itu merupakan bagian
dari reformasi perbankan, yang bisa dikatakan, juga masih merupakan langkah
sumir.Maka itu, mengamati industri perbankan sepanjang tahun 1999 adalah
sesuatu yang mereka nantikan.
Sebenarnya
ada hal paling urgen yang kelihatannya tak punya korelasi, tetapi untuk
menyehatkan industri perbankan, hal itu mutlak diperlukan.Sebagaimana
diketahui, dalam dunia yang sudah terintegrasi ini, peran aliran modal sudah
menjadi penyangga perekonomian, dan sekaligus juga perbankan satu negara.
Aliran
modal itu, termasuk yang dalam kategori investasi portofolio-berbentuk saham
obligasi atau produk di pasar uang lainnya.Aliran modal lainnya, adalah yang
juga disebut sebagai foreign direct investment (aliran investasi asing
langsung).
Untuk
kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, hal itu sudah terjadi.Namun keunikan
Indonesia, tidak bisa segera membalikkan arus modal keluar menjadi arus modal
masuk.Korea Selatan dan Thailand, adalah negara yang paling jitu dan lihai,
serta menyadari pentingnya kembali arus modal masuk itu.
Untuk
Indonesia, meski dipandang menarik, tetapi kerusuhan berdarah telah membuat
investor ngeri untuk masuk ke Indonesia. Jangankan untuk berbinis, untuk
berkunjung pun mereka sudah enggan. Karena itu, ketenangan politik, adalah hal
mutlak yang harus didengarkan otoritas.
LAPORAN
AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Pemulihan
Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik
PELAKSANAAN
agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian
besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih.
Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat
dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana
Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang
kritis.Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara
kemungkinan terjadi recovery dan kehancuran.Peluangnya separuh-separuh.
Investor
bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta
demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa
dipercaya rakyat. Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan
pulih, karena investor pasti akan datang kembali ke Indonesia.
Oleh
karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu
berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar
dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.Menurut dia, masuknya aliran
modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi
kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum dan
sistem peradilan yang independen.
Suksesnya
pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu
saja.Mulai saat ini harus dipersiapkan.Namun bayangan kegagalan masih
berkecamuk, mengingat intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan
penjarahan yang membuat masyarakat merasa tidak aman masih sering terjadi.
MELIHAT
pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana pegelaran dialog nasional
sangat penting. Melalui dialog nasional tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang
terlibat menyamakan persepsi bahwa pemilu harus berhasil dan sesuai aspirasi
rakyat.
Kita
sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis dan didukung rakyat.
Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa dirinya bersifat transisi dan hanya
mempersiapkan pemerintahan yang akan datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional
juga harus berani mengakui pemerintahan yang sekarang.
Selain
masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat
penting, apabila kita mengharapkan pemulihan ekonomi.Dua persoalan mendasar
yang harus diselesaikan, yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.
Pertama,
restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan
besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan
penutupan bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal
sedikit bank yang kuat dan profesional.
Sebelum
mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila
persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi,
karena tidak ada kodal kerja dan perdagangan.
Kedua,
masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta.Seberapa jauh masalah utang LN
ini bisa diselesaikan.Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia
internasional terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang
tersebut.Bila default, maka kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke
Indonesia.
Ketua
Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai
pengusaha pihaknya memang harus optimis.Tetapi kalau melihat di lapangan
terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan
gamang.Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi,
apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu.
Oleh
karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu.
Investasi tidak akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan
volume dan penjualan dari yang sudah ada.Pengusaha tidak mungkin mengandalkan
pasar domestik, tetapi luar negeri.
Kalau
penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka
ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi
gejolak sosial akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.
Dengan
pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian
nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah
"kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik-Red) menyebabkan
pengendara (baca: pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan. Atas dasar
pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan lain kecuali
menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.
LAPORAN
AKHIR TAHUN BIDANG EKONOMI
Rupiah
dan Saham, Meliuk-liuk Bagai Ular
RUPIAH
pun tak mau ketinggalan telah menorehkan tinta merah dalam sejarah
perekonomian. Bursa saham pun demikian halnya, bergejolak dan jika digambar
terlihat seperti ular yang meliuk-liuk.Masih ingat ketika kurs rupiah hampir
menembus Rp 17.000 per dollar AS pada 17 Juni 1998?
Begitu
Soeharto menyatakan diri mundur sebagai Presiden ke-2 RI tanggal 21 Mei
1998-yang diinginkan pasar dan diperkirakan bisa meredakan gelombang-tak juga
menolong rupiah.Rupiah masih sekitar Rp 11.000 per dollar AS.Kecenderungan
pelemahan rupiah pasar, terus menjadi-jadi sejak aksi penembakan mahasiswa
Trisakti tanggal 12 Mei dan aksi penjarahan 14 Mei di Jakarta.
Hal
itu diikuti gelombang kerusuhan dan aksi politik yang sepertinya tidak
habis-habisnya setelah mundurnya Soeharto.Pukulan bertubi-tubi atas rupiah
mencapai gongnya, setelah mata uang yen Jepang mengalami depresiasi tajam 12
Juni 1998.Kurs rupiah selanjutnya terjun bebas mencapai Rp 17.000, tingkat paling
rendah selama sejarahnya.
Kondisi
ekonomi yang mengalami kontraksi hingga minus 13 persen, inflasi yang tinggi,
suku bunga bank yang melambung memberikan dampak buruk bagi
perusahaan-perusahaan termasuk yang sudah terdaftar di bursa.mengakhiri krisis
perbankan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) bulan
September lalu akhirnya mencapai titik terendah 254 poin.
Menjelang
tutup tahun 1998, indeks saham sedikit menapak naik melampaui tingkat 400
poin.Tingkat suku bunga yang mulai menurun akibat inflasi yang mulai terkendali
dan aksi spekulasi pada valuta asing yang mulai mereda ikut membantu. Hal
serupa juga dialami rupiah yang cenderung membaik sejak September lalu dan kini
terus bertengger pada level Rp 7.000 sampai Rp 8.000 MENGIKUTI perjalanan kurs
rupiah dan indeks saham selama tahun 1998 ibarat naik turun gunung dengan
lembah dan ngarai yang terjal. "Batas rupiah adalah langit," ujar
pengamat ekonomi Hartojo Wignjowijoto ketika kurs rupiah terus melemah mendekati
Rp 17.000 bulan Juni lalu.
Pasar
memang tidak bisa kompromi dengan perkembangan politik.Kondisi negatif ini
semakin diperparah dengan perkembangan global seperti jatuhnya kurs yen.Kurs
rupiah setahun yang lalu masih bergerak antara Rp 4.000 - Rp 5.000 per dollar
AS.Tidak terlalu "buruk" apabila dikaitkan dengan keadaan saat ini
yang bergerak antara Rp 7.000 - Rp 8.000. Akan tetapi kondisi ekonomi dalam
negeri ternyata tidak bisa lagi diharapkan untuk mendukung rupiah agar tetap
stabil sejak Bank Indonesia (BI) melepaskan rentang intervensi 14 Agustus 1997
dan menutup 16 bank swasta bulan November.
Manuver-manuver
politik semakin memperburuk kepercayaan pasar atas perekonomian Indonesia.
Kehadiran calon wakil presiden BJ Habibie pada waktu itu, membuat pasar
berkeyakinan bahwa Indonesia masih akan tetap dengan ekonomi biaya tinggi.
Sikap pemerintah yang juga tarik ulur dalam mencapai kesepakatan program
bantuan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) semakin mempersulit keadaan.
Hal
serupa juga terlihat pada harga-harga saham di BEJ.Setelah sempat melambung
melampaui 700 poin pada bulan Juni 1997, indeks saham terus terjun bebas hampir
mendekati 300 poin pada bulan Desember dan Januari 1998.Beruntung,
penandatanganan letter of intent pemerintah dengan IMF tanggal 15 Januari
membuat pasar valas dan saham bereaksi positif pada membaiknya perekonomian.
Kurs
rupiah segera kembali menguat hingga di bawah Rp 10.000.Bahkan sempat berada di
bawah Rp 8.000 per dollar AS pada bulan Februari.Intervensi BI di pasar valas
ikut membantu.Revisi atas RAPBN 1998/ 1999, suatu tindakan revisi pertama yang
dilakukan pemerintahan selama ini, juga menunjukkan sikap serius pemerintahan
menghadapi krisis.
Di
bursa saham, harga-harga saham juga kembali melonjak.Indeks terus naik
melampaui 500 poin pada Februari 1998.Menurut pengamat pasar modal Jasso
Winarto saat itu, para investor asing mulai mengincar saham-saham unggulan
Indonesia yang ketika itu sudah sangat murah. Kesepakatan dengan IMF juga
memberikan sentimen positif krisis ekonomi Indonesia akan segera membaik.
SEBAGAIMANA
dikatakan banyak pengamat, krisis keuangan Indonesia ternyata sudah melebar
menjadi krisis ekonomi. Bukan hanya itu, krisis juga mulai masuk ke politik
yang selama ini praktis menjadi "kawasan tabu". Akibatnya,
kepercayaan akan perekonomian Indonesia secara perlahan namun pasti, mulai pupus.
Letter
of credit (L/C) dari Indonesia tidak lagi diterima semua pihak di luar
negeri.Lebih kalut lagi, pihak peminjam di luar negeri mendesak para penerima
pinjaman di dalam negeri agar segera membayar utangnya. Waktu itu, diperkirakan
sekitar 9,8 milyar dollar AS utang jangka pendek pihak swasta Indonesia yang
jatuh tempo. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah semakin bertubi-tubi.
Pasar
valas maupun bursa saham seperti telah patah arang terhadap pemerintah
RI.Seperti telah diungkapkan di atas, sejak itu kurs rupiah terus anjlok hingga
mendekati Rp 17.000 (di Singapura sudah mencapai Rp 17.000).Indeks harga saham
juga mulai menunjukkan tendensi merosot menembus angka 400 poin dengan beberapa
kali naik sedikit sekadar koreksi kecil.
Sejak
Juni dan Juli 1998, rupiah yang mencapai kurs paling rendah, secara perlahan
mulai membaik.Tekanan terhadap rupiah mulai melemah, setelah sejumlah
perundingan bagi penyelesaian utang luar negeri pihak swasta dicapai
kesepakatan di Frankfurt, Jerman. IMF juga mulai mengucurkan dana bantuannya.
Sejumlah negara sahabat juga mulai memperlihatkan sikap mendukung program
ekonomi Indonesia.
Sayangnya,
langkah pemulihan ini belum terlihat di bursa saham.Harga-harga saham terus
berjatuhan.Tidak jarang, harga saham di BEJ sudah senilai harga permen.Harga
rokok ataupun air mineral jauh di atas harga per lembar saham.Indeks saham pun
terus turun hingga bulan September mencapai titik terendah 254 poin.
Pertanyaannya,
apakah kurs rupiah dan indeks saham ini masih akan stabil pada tingkat ini saat
memasuki tahun 1999? Penghujung tahun 1998, rupiah dan bursa agak pulih.Akan
tetapi sebagaimana dikemukakan, persoalan yang dihadapi seseorang atau sebuah
negara, harus mulai diselesaikan dari diri sendiri.
Itu
berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan
ekonomi dan politik yang di dalam negeri.Transparan, tegas, jelas, dan cepat
diperlukan.Jangan sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.
Peristiwa Tri sakti
Tragedi
Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap
mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di
Jakarta,Indonesia serta puluhan lainnya luka.
Mereka
yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998),
Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka tewas
tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti
kepala, tenggorokan, dan dada.
Latar
belakang dan kejadian
Ekonomi
Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial
Asia sepanjang 1997 - 1999.Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi
besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka
melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul
12.30.Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang
kemudian.Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya,
pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan.Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa.Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di
universitas Trisakti.Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan.Korban
pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan
pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian
RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara
Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan
Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada
pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru
tajam.Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah
peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Rentang waktu:
Peta
situasi Trisakti pada 12 Mei, 1998
10.30
-10.45
Aksi
damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir
depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap
civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan
universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
10.45-11.00
Aksi
mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang
diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar
bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda
keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
11.00-12.25
Aksi
orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen,
karyawan maupun mahasiswa.Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan
lancar.
12.25-12.30
Massa
mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat
di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long
march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR.
Kemudian massa menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
12.30-12.40
Satgas
mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan
mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap
tertib pada saat turun ke jalan.
12.40-12.50
Pintu
gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung
MPR/DPR melewati kampus Untar.
12.50-13.00
Long
march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Walikota Jakarta
Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang
terdiri dua lapis barisan.
13.00-13.20
Barisan
satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat
Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando
aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta
Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus
maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan
satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula
masyarakat mulai bergabung di samping long march.
13.20-13.30
Tim
negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi di mana long march tidak
diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan
dapat menimbulkan kerusakan.Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya
tersebut merupakan aksi damai.Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak
pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa
(Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
13.30-14.00
Massa
duduk.Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa
berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa
ketegangan antara aparat dan mahasiswa.Sementara rekan mahasiswi membagikan
bunga mawar kepada barisan aparat.Sementara itu pula datang tambahan aparat
dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
14.00-16.45
Negoisasi
terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari
terobosan untuk menghubungi MPR/DPR.Sementara mimbar terus berjalan dengan
diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun
massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling
tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus Polisi
memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
16.45-16.55
Wakil
mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik
aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah
dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua
SMUT massa mau bergerak mundur.
16.55-17.00
Diadakan
pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus.Mahasiswa
bergerak masuk kampus dengan tenang.Mahasiswa menuntut agar pasukan yang
berdiri berjajar mundur terlebih dahulu.Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi
keinginan mahasiswa.Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa
sudah tertib.Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan
tertib ke kampus.Saat itu hujan turun dengan deras.
Mahasiswa
bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba seorang
oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat)
berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini
memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang
anggota aparat yang menyamar.
17.00-17.05
Oknum
tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar
ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan
massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus
Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat
dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi
kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa
maupun aparat untuk sama-sama mundur.
17.05-18.30
Ketika
massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat
ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada
mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang
mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi
dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
Pada
saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa
dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan
berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan
penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi
jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan,
serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang
berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet
dipinggang sebelah kanan.
Kemudian
datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC
mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan
layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa
mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu
membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi
penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke
depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang
mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
Lalu
sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan
membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke
arah mahasiswa yang ada di dalam kampus.Dengan tembakan yang terarah tersebut
mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia.Yang meninggal
dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit
beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh
akibat tembakan ada lima belas orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan
intensif di rumah sakit.
Aparat
terus menembaki dari luar.Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam
kampus.
18.30-19.00
Tembakan
dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi
korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
19.00-19.30
Rekan
mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di
sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang
masih dibangun.Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang
ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan
segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
19.30-20.00
Setelah
melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari
ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan
mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan
Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan
syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang).
Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
20.00-23.25
Walau
masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban,
mahasiswa berangsur-angsur pulang.
Yang
luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras.Jumpa pers oleh pimpinan
universitas.Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.
01.30
Jumpa
pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir
dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda
Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan
dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto
Daftar
Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti
www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi.htmomputer.com/krisis-moneter/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar